Rabu, 03 Februari 2016

SAHILA SANG BALERINA

Cerita berikut ini adalah tentang seorang gadis sepuluh tahun bernama Sahila, yang merupakan satu dari sekian korban gempa bumi yang pernah melanda Afghanistan beberapa tahun silam.

Dia adalah seorang gadis yang manis. Aku mengunjunginya pertama kali, tepat sehari setelah gempa sekuat 7,5 skala richter itu terjadi.

"Aku ingin menjadi balerina. Aku ingin menari balet." Ucapnya lirih, dengan senyum yang tampak dipaksakan. Katanya, seorang balerina adalah sosok yang anggun. Cantik. Seperti bidadari. Sahila ingin seperti itu. Menjadi seperti bidadari.

Hatiku remuk mendengarnya. Kucoba menahan air mataku sekuat tenaga. Dan dia mulai bercerita banyak hal. Semuanya tentang tari balet.

"Apa kau kenal dengan Ana Pavlova?" Tanyanya padaku, menyebut nama salah seorang balerina ternama. Aku hanya mengangguk.

"Aku selalu menabung separuh uang sakuku, setiap hari, untuk membeli sepatu balet. Yang bagus. Yang warnanya merah muda." Ceritanya di lain waktu.

Dua hari dua malam, aku mendampinginya, di antara puing-puing kota berdebu ini. Sahila terus bercerita. Tentu saja, semuanya tentang balet. Mulai dari Swan Lake, Leotard, hingga mimpi-mimpinya berada di atas panggung. Memukau mata ratusan orang dengan tariannya yang indah.

Dan aku tak tahu harus berkata apa. Bahkan hanya untuk menjawab ala kadarnya, aku tak bisa. Malah aku bangkit dan berlari sejauh mungkin. Meluapkan air mata yang tak bisa lagi dibendung. Jauh dari Sahila.

Hingga di hari ketiganya, Sahila tak lagi bercerita. Bahkan barang sepatah katapun. Ketika aku kembali ke sana, beberapa tim medis dan puluhan lainnya telah mengerubungi lokasi di mana Sahila berada. Di salah satu sudut reruntuhan sekolahnya; tempat di mana tiga hari ini aku terus mendengar gumaman Sahila...yang separuh lebih dari tubuh mungilnya tertimbun puing-puing bangunan.

"Tetap hidup selama tiga hari dalam kondisi seperti ini sudah merupakan sebuah keajaiban. Saya sendiri heran, apa yang bisa membuatnya bertahan?" Sang dokter menggumam.

Aku termangu. Kosong. Dan entah kenapa, bibirku bergetar ketika mengucapkannya. "Balet."


Catatan:

  • FlashFiction ini diikutsertakan dalam  Prompt #101 di grup Monday FlashFiction.
  • Jumlah kata: 299.

7 komentar :